Makam dan Masjid Nyatnyono Destinasi Wisata Religi yang Legendaris

Makam dan Masjid Nyatnyono Destinasi Wisata Religi yang Legendaris

paket-wisatabromo.com – Makam  dan Masjid Nyatnyono merupakan salah satu destinasi wisata Religi di Kabupaten Semarang yang legendaris

Makan dan Masjid Nyatnyono yang legendaris ini dapat menjadi alternatif wisata keluarga yang dapat menambah wawasan di masa libur akhir tahun ini.

Selain menambah wawasan bagi seluruh keluarga, berwisata di makam dan Masjid Nyatnyono ini dapat sebagai sarana peningkatan iman dan taqwa bagi anak dan seluruh anggota keluarga.

Penasaran, ya?  Dimana, bagaimana, harga tiket, dan kapan baiknya berwisata ke Makam dan Masjid Nyatnyono. Ini dia informasinya.

"<yoastmark

Makam  dan Masjid Nyatnyono

Makam Nyatnyono

Di kota Ungaran Kabupaten Semarang Jawa Tengah terdapat makam wali besar yang terletak di lereng Gunung Sukroloyo yang asri.

Ada dua makam keramat di sana: makam  dan putranya, waliyullah Hasan Dipuro.

Tepatnya Makam  dan Masjid Nyatnyono terletak di Desa Nyatnyono, Ungaran, Kabupaten Semarang.

Letak makam ini tepatnya di Dusun Nyatnyono. Hebatnya, makam keramat waliyullah Hasan Munadi hingga kini masih terawat dan terpelihara dengan baik.

Makam dan Masjid Nyatnyono ini merupakan makam keluarga besar Bambang Kartonadi yang diyakini masyarakat sebagai wali, penyiar agama Islam.

Selain itu, Makam dan Masjid Nyatnyono mempunyai legenda terjadinya Desa Nyatnyono.

Air yang muncul di Sendang Nyatnyono di sekitar makam dipercaya orang dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan dikenal dengan Sendang Kalimah Toyyibah.

Awalnya, Kiai Hasan Munadi dan putranya Kiai Hasan Dipuro nyantri kepada Sunan Ampel bersama Raden Patah.

Setelah dianggap cukup ilmunya, Raden Patah diperintahkan oleh Sunan Ampel untuk membangun pesantren di Desa Glagah Wangi, Demak.

Sedangkan Kiai Hasan Munadi dan putranya disuruh untuk kembali ke kampungnya, guna mengembangkan Islam di daerah Semarang dan sekitarnya.

Sebelum memulai aktivitas dakwah, Kiai Hasan Munadi berkhalwat di Puncak Gunung Sukroloyo demi memohon petunjuk kepada Allah SWT.

Setelah seratus hari melakukan khalwat, Kiai Hasan mendapat isyarat. Dalam khalwatnya, ia melihat sebuah masjid di salah satu dusun yang terletak di lereng bukit yang kemudian dikenal sebagai Dusun Nyatnyono.

Masjid  Nyatnyono

Di Ungaran, salah satu bangunan peninggalan Hasan Munadi adalah Masjid Subulussalam Nyatnyono.

Masjid yang dikenal dengan nama Masjid Karamah Hasan Munadi tersebut bahkan dipercaya lebih tua daripada Masjid Agung Demak.

Asal-muasal nama Nyatnyono memiliki arti “berdiri tahu-tahu sudah ada”, yang tidak terlepas pula dari hasil khalwat Kiai Hasan.

Setelah mendapat petunjuk, Kiai Hasan menuju kampung tempat masjid dalam isyarat itu berada. Hal yang luar biasa terjadi.

Atas izin Allah, begitu Kiai Hasan keluar dari tempat khalwatnya, ternyata masjid yang dimaksud benar-benar sudah berdiri tegak di Lereng Gunung Sukroloyo.

Karena peristiwa luar biasa itulah, yang merupakan karamah waliyullah Hasan Munadi, pada akhimya masjid dan dusunnya kemudian dinamakan “Nyatnyono.”

Nyat artinya “berdiri” dan Nyono artinya “sudah ada”. Maksudnya, setelah Kiai Hasan berdiri dari khalwat, tiba-tiba masjid sudah ada dengan sendirinya.

Hasan Munadi tercatat sebagai punggawa Kerajaan Demak yang saat itu dipimpin oleh Raden Fatah.

Dengan pangkat tumenggung, dia dipercaya memimpin tentara Demak mengatasi segala bentuk kejahatan dan keangkuhan yang mengancam kejayaan Kerajaan Demak.

Hasan Munadi kemudian memilih mensyiarkan Islam di daerah selatan kerajaan dan meninggal pada usia 130 tahun.

Beliau meninggal dan dimakamkan di kampung halaman Nyatnyono di atas Masjid Subulussalam.

Masjid Karamah Waliyullah

Riwayat tentang karamah waliyullah Hasan Munadi tidak hanya sebatas ketika ia masih hidup.

Bahkan, ratusan tahun setelah wafatnya, karamah itu masih dirasakan oleh masyarakat.

Di antaranya pada waktu Masjid Keramat tersebut direnovasi pada tahun 1985.

Sebagaimana kelaziman para pemangku makam yang hendak membangun Masjid Keramat, Kiai Asmui pada waktu itu melakukan mujahadah selama satu tahun terlebih dahulu.

Seusai bermujahadah, ia pun berinisiatif meminta bantuan masyarakat sekitar untuk menyumbangkan sebagian harta.

Kala itu, masyarakat Nyatnyono terbilang kelas menengah ke bawah.

Hanya beberapa pejabat dan keluarga tertentu yang memiliki kekayaan berlebih.

Proposal yang ditawarkan, termasuk ditujukan kepada instansi-instansi tertentu dan beberapa orang kaya yang ada di lingkungan sekitar, kembali tanpa hasil apa pun.

Dalam kondisi inilah, Kiai Asmui merasa gamang untuk melanjutkan renovasi.

Akhirnya, ia sowan kepada Kiai Hamid (K.H. Abdul Hamid Magelang), yang termasyhur dengan kewaliannya, guna meminta pendapatnya.

Namun, Kiai Hamid malah menjawab santai, “Sudah, pulang sana, mulai renovasi masjidnya. Waliyullah Hasan itu kaya. Kuburannya ada gambar uang.”

Sepulang dari kediaman Kiai Hamid, Kiai Asmui justru bingung memikirkan kata-kata Kiai Hamid. Tapi, karena taat kepada sang guru, ia tidak berpikir panjang.

Meski tidak memiliki modal, ia pun mulai melakukan pembangunan.

Bagian-bagian bangunan masjid yang dinilai tak layak mulai dirobohkan untuk direnovasi.

Tiba-tiba keanehan terjadi. Tanpa diduga, seorang peziarah yang datang ke makam dan tengah menderita sakit kronis.

Dalam waktu singkat ternyata sembuh dari penyakit yang dideritanya setelah meminum air sumber yang berada tak jauh dari makam serta mengusapkan ke tubuhnya.

Sejak kejadian itu, para peziarah semakin banyak berdatangan ke Makam Keramat dan mengambil air dari mata air itu.

Selain itu, ada kejadian makin aneh pula, mata air yang semula kecil menjadi semakin besar dengan semakin banyaknya peziarah yang berebut memanfaatkannya.

Melihat kejadian aneh itu, Kiai Asmui kembali datang kepada Kiai Hamid untuk menceritakan sekaligus menanyakan fenomena apa yang sebenarnya terjadi.

Pada saat itu, Kiai Hamid mengisyaratkan bahwa semua itu adalah bagian dari karamah waliyullah Hasan Munadi.

Baca:

Sendang di Kompleks Makam

Hari demi hari kata-kata Kiai Hamid menjelma menjadi kenyataan. Peziarah yang datang semakin membludak.

Anehnya, air yang keluar dari sumber di dekat makam pun semakin membesar seiring dengan semakin banyaknya peziarah yang datang.

Sumber tersebut akhirnya berubah menjadi sendang yang kemudian dikenal dengan nama “Sendang Kalimah Thayyibah”.

Hal ini dikarenakan, untuk bisa mendapatkan manfaatnya, atau untuk memenuhi hajat tertentu, seseorang terlebih dahulu harus membaca dua syahadat.

Pundi-pundi amal yang berasal dari peziarah pun semakin melimpah, sampai-sampai dalam setiap harinya kotak-kotak amal yang tersedia berisi tidak kurang dari dua belas juta hingga delapan belas juta. Hal ini berlangsung hingga sepuluh bulan.

Hasil dari kotak amal yang telah dikumpulkan akhirnya tidak hanya digunakan untuk merenovasi masjid, tetapi juga untuk kepentingan publik lainnya.

Selain perbaikan makam, madrasah, serta jalan umum, masyarakat juga memperoleh “bagian” yang tidak sedikit jumlahnya.

Masyarakat Nyatnyono yang tadinya hidup serba kekurangan mulai membangun dan merenovasi rumah-rumah mereka.

Kondisi perekonomian masyarakat sekitar makam terangkat karena membludaknya para peziarah yang datang. Bahkan, beberapa ribu orang masuk Islam berkat keberadaan sendang itu.

Tak jauh dari Makam Hasan Munadi, terdapat pula pemandian atau sendang yang konon pada masa silam menjadi tempat mandi dan pengambilan air wudhu Hasan Munadi.

Sendang tersebut dikenal dengan nama Air Keramat Sendang Kalimat Thoyibah.

Air tersebut bersumber dari mata air yang dahulunya merupakan tongkat Hasan Munadi yang tertancap di tanah.

Bila kita merasakannya, maka air tersebut seperti air zam-zam. Konon, Air Keramat Sendang Kalimat Thoyibah menjadi wasilah penyembuhan segala penyakit.

Jika berniat mandi di dalamnya, maka setiap pengunjung diwajibkan untuk mengenakan sarung.

Selain itu, mereka juga tidak diperbolehkan memakai aneka perhiasan, semisal cincin, gelang, dan lain sebagainya.

Bagi mereka yang tidak membawa sarung, kini sudah tersedia jasa penyewaan sarung di pintu masuk sendang.

Peziarah

Tujuan utama para peziarah ini adalah makam Waliyullah Hasan Munadi dan putranya, Hasan Dipuro.  Para peziarah datang ke makam untuk berdoa dan beritikaf.

Malam selikuran atau bertepatan pada malam 21 Ramadhan diyakini sebagai turunnya Lailatul Qadar atau malam seribu bulan.

Waktu ini dianggap waktu yang mustajab (lekas dikabulkan) untuk semua doa-doa yang dipanjatkan.

Oleh sebab itu umat muslim diperintahkan untuk banyak melakukan amal ibadah pada malam Lailatul Qadar ini.

Sejak selasa sore bahkan di mushala dan masjid di sekitar makam sudah penuh sesak oleh para peziarah.

Sesepuh Desa Nyatnyono KH Hasan Asyari mengatakan, malam selikuran diawali dengan tradisi ambengan di Masjid Subulussalam usai dilaksanakannya Shalat Tarawih.

Warga menyiapkan nasi ambengan ini di atas ancak atau alas dari bambu.

Nasi ambengan ini mengandung permohonan agar masyarakat Desa Nyatnyono dan yang berziarah di makam Simbah Hasan Munadi dikarunia banyak rezeki, kesehatan dan keselamatan.

Demikianlah informasi mengenai makam dan masjid Nyatnyono sebagai destinasi sisata religi di Kabupaten Semarang yang legendaris. Semoga bermanfaat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *